Wahyu Seto Syahputra /37411909, Febriyati Kusumawardani /32411793, Mega Nurul Fitriani /34411383, Prima Aditya N D /39411270, Siti Emha Riyyani R /36411802.
PENDAHULUAN
Faktanya era
globalisasi memerlukan keterbukaan wawasan dan penerimaan terhadap berbagai
aspek, baik dibidang pendidikan, industri maupun teknologi. Dengan menerima era
globalisasi, kebutuhan setiap manusia akan lebih mudah untuk didapatkan,
sebagai contoh adalah konsumsi harian bagi setiap individu. Namun, pada sisi
lain permintaan tiap individu mendorong untuk terbentuknya berbagai usaha baru
yang terus meningkat hingga menuntut banyaknya permintaan sumber daya manusia.
Setiap terbentuknya
perusahaan, memang tidak lepas dari banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan
sebagai dasar yang melandasi aktivitas pada tiap perusahaan. Berdasarkan hal
tersebut, permintaan terhadap tenaga kerja pun terbatas dengan permasalahan
dalam pendidikan, keterampilan dan skill
dari masing-masing individu. Diketahui pula, pendidikan di Indonesia dinilai
masih terlalu rendah dan menghasilkan tenaga kerja yang masih tidak qualified berdasarkan kebutuhan
perusahaan. Tenaga kerja yang qualified
dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dari produk perusahaan agar konsumen
mendapatkan kebutuhan yang sesuai. Untuk itu, banyak perusahaan beralih dari
pengerjaan yang tadinya dikerjakan secara tradisional menjadi lebih modern
berhubung majunya teknologi di era globalisasi.
Teknologi baru-baru ini
menghasilkan banyak sekali permesinan yang dapat bekerja sesuai dengan
efisiensi waktu dan kualitas yang baik. Permesinan ini juga berjalan dengan
perintah robotik yang berarti sumber daya manusia tidak lagi terlalu banyak
dibutuhkan pada proses produksi. Berdasarkan hal itu pula, tenaga kerja yang
dibutuhkan saat ini adalah seorang dengan pendidikan yang sangat tinggi dimana
kebutuhan sudah berubah karena penerimaan teknologi.
Dalam hal ini dapat
dikemukakan terjadi permasalahan antara penerimaan teknologi robotic yang
terkait dengan sumber daya manusia di Indonesia. Teknologi robotic membutuhkan
tenaga kerja yang professional, baik sebagai pembuat robot juga sebagai
operator dari robot tersebut. Namun, di lain sisi terjadi pula pengurangan
tenaga kerja akibat tidak adanya pengerjaan produk secara tradisional. Jelas sudah,
untuk mengimbangi tuntutan profesi pada era globalisasi ini dibutuhkan tiap
individu dengan pendidikan yang tinggi, yang mampu menyeimbangi kebutuhan
teknologi dengan permintaan pasar.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan mutu
sumberdaya manusia. Dengan pendidikan dapat ditingkatkan pengetahuan dan
ketrampilan yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan produktivitas.
Pendidikan dapat pula dilihat sebagai investasi sumberdaya manusia dan
hasilnya akan diperoleh beberapa tahun kemudian (Tjiptoherijanto P, 1996).
Walaupun saat ini ada kecenderungan bahwa sarjana lulusan perguruan tinggi
lebih banyak yang menganggur daripada bekerja. Hal, ini terutama disebabkan
terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, padahal penduduk yang lulus
perguruan tinggi setiap tahunnya selalu bertambah. Sebagai akibatnya banyak
diantara para sarjana yang bekerja pada bidang yang bukan keahliannya. Hal ini
terpaksa dilakukannya dengan pertimbangan daripada menganggur.
Secara nasional kebijakan di bidang pendidikan sebenarnya telah
meningkatkan pendidikan angkatan kerja hampir di semua wilayah, khususnya
terlihat pada tingkat pendidikan menengah (SLTP keatas). Kualitas sarana dan
prasarana pendidikan di Indonesia cukup meningkat, namun kebanyakan
terkonsentrasi didaerah-daerah tertentu, terutama di ibukota provinsi. Sedang
sekolah-sekolah kejuruan serta pelatihan-pelatihan BLK yang sesuai dengan
potensi lokal dirasa masih kurang. Dalam perspektif geografis, ada ketimpangan
fasilitas dan akses pendidikan di daerah perkotaan dan daerah pedesaan
(terutama daerah terpencil), yang mengakibatkan pencapaian pendidikan angkatan
kerja diperkotaan lebih tinggi daripada pedesaan.
Faktor-faktor yang berpengaruh di bidang pendidikan antara lain adalah
isu keterbatasan dan pemerataan sarana dan prasarana (sekolah, peralatan, buku
dan guru). Disamping itu pertumbuhan ekonomi yang cenderung menurun, sangat
berpengaruh terhadap kecukupan tenaga pengajar dan kesejahteraan guru yang akan
berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Secara umum tingkat pendidikan
penduduk khususnya angkatan kerja di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh
penduduk yang memiliki pendidikan SD kebawah, dan sekitar 38 % mempunyai
pendidikan yang dikelompokkan sebagai pendidikan menengah (SMTP, SMTA dan
Diploma 1 dan 2), sedangkan sisanya hanya sekitar 2% mempunyai tingkat
pendidikan relatif tinggi (Akademi dan Perguruan Tinggi). Gambaran ini dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1 Kualitas Sumberdaya Manusia
Menurut Pendidikan di Indonesia, 1999.
Tingkat Pendidikan
|
Indonesia
|
||
Laki-laki
|
Perempuan
|
Total
|
|
Tidak Sekolah
|
2.79
|
6.16
|
8.95
|
Tidak tamat SD
|
7.08
|
8.65
|
15.73
|
SD
|
17.24
|
17.63
|
34.87
|
SMTP-U
|
8.89
|
7.74
|
16.63
|
SMTP-K
|
1.09
|
1.00
|
2.08
|
SMTA-U
|
7.11
|
5.28
|
12.39
|
SMTA-K
|
3.33
|
2.49
|
5.81
|
Dipl 1 /2
|
0.31
|
0.36
|
0.67
|
Dipl 3/Ak
|
0.55
|
0.45
|
0.99
|
PT
|
1.16
|
0.70
|
1.86
|
Total
|
49.56
|
50.44
|
100.00
|
Sumber: BPS, Sakernas 1999 (diolah)
Dari gambaran diatas terlihat bahwa kondisi pendidikan di Indonesia perlu
mendapat perhatian besar. Salah satu strategi yang dapat dikembangkan dalam
rangka peningkatan bidang pendidikan di Indonesia adalah dengan peningkatan
partisipasi sekolah terutama sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan
sejenis yang setara, pendirian sekolah-sekolah kejuruan yang sesuai dengan
potensi sumberdaya setempat, peningkatan mutu perguruan tinggi dan peningkatan
akses untuk mengikuti Pendidikan Tinggi (di dalam negeri dan di luar negeri).
B. Tingkat Tenaga Kerja
Pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi di era globalisasi saat
ini tidak dapat dipisahkan dari laju pertumbuhan penduduk di masa lalu.
Meskipun laju pertumbuhan penduduk mulai menurun, pertumbuhan angkatan kerja di
Indonesia masih relatif tinggi karena adanya angkatan kerja baru.
Masalah yang krusial yang dihadapi Indonesia adalah masalah yang
berkaitan dengan pasar kerja yaitu semakin banyaknya jumlah penganggur. Masalah
ini timbul sebagai akibat adanya ketidak-seimbangan antara persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan tenaga kerja. Salah satu faktor yang diduga menjadi
penyebab terjadinya ketidak-seimbangan pasar kerja tersebut adalah ketidak
cocokan keinginan atau kebutuhan antara pasar kerja dengan pengguna tenaga
kerja. Disamping itu seringkali dijumpai ketrampilan dan pendidikan yang
dimiliki pencari kerja kurang sesuai dengan persyaratan yang diminta, sedang
pengguna tenaga kerja umumnya mensyaratkan kualifikasi yang dibutuhkan harus
sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditawarkan baik dilihat dari tingkat
pendidikan, ketrampilan, keahlian dan pengalaman kerja.
Tingginya tingkat pengangguran penduduk perempuan tersebut dapat
dimaklumi karena secara alam kebanyakan diantara mereka masih terikat oleh
kultur yang secara tidak langsung mengekang partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja. Untuk memperlancar aktivitas pembangunan, seyogyanya perem-puan
diberi kesempatan yang sebesar-besarnya dalam memasuki pasar kerja. Apabila
penduduk perempuan yang terdidik tersebut dibiarkan menganggur tentunya
merupakan pemborosan sumberdaya manusia yang besar pula.
Gambaran ini menunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikan rendah
mempunyai partisipasi yang cukup tinggi dalam kegiatan perekonomian di Indonesia.
Hal ini tercermin dari rendahnya tingkat pengangguran di kalangan ini. Selain
itu, banyak pula penduduk di Indonesia yang bekerja sebagai tenaga usaha
penjualan, seperti usaha perdagangan, baik dalam skala besar maupun skala
kecil. Pekerjaan berdagang/berjualan merupakan pekerjaan yang ringan dan resiko
yang dihadapi relatif kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk
yang berpendidikan lebih tinggi, lebih senang menganggur daripada bekerja pada
bidang yang bukan keahliannya. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak dapat
secara langsung terserap dalam pasar kerja. Hal ini apabila tidak ditanggulangi
secara seksama tentunya merupakan pemborosan sumberdaya manusia mengingat biaya
yang dikeluarkan untuk keperluan pendidikan cukup besar.
Tabel 2. Kegiatan Tenaga Kerja
di Pasar Kerja Indonesia (%)
Kegiatan
|
Indonesia
|
||
Lk
|
Prp
|
Total
|
|
Angkatan kerja
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
Bekerja
|
93.97
|
93.12
|
93.64
|
Cari kerja
|
6.03
|
6.88
|
6.36
|
Pernah kerja
|
38.30
|
27.98
|
34.01
|
Tdk Pernah kerja
|
61.70
|
72.02
|
65.99
|
Bukan Angkatan
kerja
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
Sekolah
|
49.67
|
15.04
|
23.64
|
Mengurus RT
|
5.47
|
72.58
|
55.91
|
Lainnya
|
44.85
|
12.38
|
20.45
|
Sumber : BPS, Sakernas 1999 (diolah)
Gambaran di atas menunjukkan indikasi adanya ketidak sepadanan antara
peluang kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Sementara sulit bagi
investor untuk mendapatkan tenaga kerja lokal yang siap pakai dan sesuai dengan
kualifikasi yang diinginkan sehingga kadangkala peluang kerja yang ada di Indonesia
diisi oleh tenaga kerja dari luar negri. Dengan demikian, persaingan antara
penduduk asli yang kurang berpengalaman dengan pendatang yang lebih siap pakai
tidak menimbulkan potensi terjadinya disintegrasi antar etnis. Dari kondisi
ketenagakerjaan yang terdapat di Indonesia dapat disimpulkan bahwa terdapat
permasalahan pokok dalam hal ini yaitu rendahnya kualitas tenaga kerja dan
pencari kerja serta adanya ketidak sepadanan peluang kerja yang tersedia dengan
keahlian pencari kerja. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah:
1.
Sarana
dan prasarana pendidikan dan pelatihan yang tersedia belum sesuai dengan
kebutuhan dan potensi perekonomian wilayah setempat
2.
Belum
adanya upaya atau program terpadu dari pemerintah yang mengkaitkan antara
potensi yang dimiliki daerah dengan para investor dan pencari kerja
3.
Kurangnya
alokasi dana dari pusat dalam upaya mengembangkan daerah-daerah
4.
Sikap
mental dan nilai budaya dari penduduk khususnya tenaga kerja tidak mendukung dalam
upaya membentuk tenaga kerja yang berkualitas, dan secara umum menjadi kendala
dalam pembangunan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Dalam rangka mengantisipasi keadaan ketenagakerjaan yang lebih buruk
lagi, maka pemerintah harus segera turun tangan dalam mengantasi hal ini
diantaranya dengan melakukan perubahan orientasi pendidikan dan pelatihan kerja
yang semula bertumpu pada pemerintah, dirubah untuk lebih bertumpu pada
masyarakat, utamanya para pengusaha sebagai pengguna jasa tenaga kerja.
Sementara dari segi program harus lebih dikembangkan lagi program pelatihan
yang bersifat multi ketrampilan serta mempunyai standar ataupun kualifikasi
nasional dan internasional sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja dari
manca negara. Sampai saat ini program pendidikan dan pelatihan yang dilakukan
oleh pihak pemerintah maupun swasta sebenarnya sudah cukup banyak, baik yang
bersifat untuk membekali ketrampilan kepada pencari kerja maupun peningkatan
ketrampilan bagi yang sudah bekerja. Namun demikian banyak dari materi yang
diajarkan tidak sesuai dengan kualifikasi pekerjaan yang ada atau tenaga kerja
itu sendiri yang tidak mampu mengembangkan ketram-pilan yang sudah didapatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka upaya membangun dan memberdayakan
SDM di Indonesia tidak hanya terbatas pada peningkatan mutu pelayanan
pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan maupun program-program pemerintah,
namun yang paling penting adalah mengubah dan menyesuaikan sikap mental tenaga
kerja di daerah agar mempunyai ketrampilan dan etos kerja yang tinggi,
profesional, yang pada saatnya mereka mampu bersaing secara global.
KESIMPULAN
Dengan banyaknya bukti yang
didapat dari beberapa sumber menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih
sangat minim. Dengan pendidikan tersebut pula mengakibatkan banyaknya tingkat
pengangguran yang terjadi. Secara garis besarnya, sebenarnya seluruh perusahaan
membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi dari masing-masing calon pekerja. Tidak
hanya dibutuhkan sebagai pembuat mesin robotic, namun calon pekerja juga
dibutuhkan sebagai seseorang yang paling tidak, mampu untuk mengoperasikan
beberapa mesin pada perusahaan.
Sumber:
BPS, 2000. Statistik
Indonesia 1999. Jakarta
Tjiptoherijanto
P. (1996). Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Nasional (Human
Resources in the Development). Jakarta. University of Indonesia
Ariani
E. Potret Ketertinggalan Sumber Daya
Manusia : 2005 (http://bto.depnakertrans.go.id/download/Jurnal/POTRET%20KETERTINGGALAN%20SUMBER%20DAYA%20MANUSIA.doc)
bagus dan bermanfaat! :D
BalasHapusMenarik. Tetapi ada baiknya jika lebih diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan melakukan perubahan orientasi pendidikan dan pelatihan kerja menjadi bertumpu pada masyarakat pada tulisan di atas.
BalasHapusSetuju jika pendidikan di Indonesia masih rendah karena minimnya sarana dan prasaran di sekolah daerah terpencil.
BalasHapusSeharusnya pendidikan tidak hanya sekedar belajar-menghafal- ujian, tetapi sejak dini diajarkan bagaimana cara mengembangkan bakat dan keterampilan yang dimiliki sehingga ketika lulus lalu tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ia telah milik bekal untuk menciptakan lapangan kerja sendiri tidak mengandalkan untuk bekerja pada orang lain.
Saya rasa masalah ini timbul karenakan budaya masyarakat Indonesia sendiri yang tidak menurunkan sebuah paham kalau sekolah itu menyenangkan. Sebuah opini yang bisa diterima ketika melihat sendiri kurikulum belajar yang tidak efektif. masyarakat asia cenderung menekuni hal yang mereka kurang bisa (seperti ketika seorang anak bisa seni tapi demi tuntutan sekolah yang harus diperdalam adalah matematika) karena masyarakat Asia harus bisa bertahan hidup (dengan kondisi hampir semua negara asia masih negara berkembang, termasuk indonesia) lain dengan negara-negara eropa yang memrogramkan anak untuk belajar dan menekuni hal-hal yang mereka sukai.
BalasHapusSelain itu juga di sekolah masyarakat Indonesia kurang mengembangakan diri mereka dengan soft skill soft skill yang mereka butuhkan pada saat bekerja. sehingga pada akhirnya tenaga kerja memang banyak, tapi tenaga kerja yang memenuhi syarat untuk bekerja (diluar skill-skill yang mereka dapat dari jurusan yang mereka ambil) bisa dibilang tenaga kerja yang tidak ahli.
tulisan yang sangat bagus dan menarik,.. namun saya ingin menanyakan sedikit hal tentang SDM di indonesia saat ini... bagaimana menurut anda terhadap pandangan SDM di negara kita tercinta saat ini? sedangkan sekarang masih banyak para TKI yang bekerja sebagai buruh diluar negeri sana, bahkan sampai dianiaya.... apakah negaranya sendiri tidak memberikan fasilitas ataupun lapangan kerja untuk mereka? terima kasih
BalasHapusSetuju sekali. Pendidikan di Indonesia dikatakan minim karena pada kenyataannya pendidikan yang layak tidak dapat dirasakan oleh semua anak Indonesia. Padahal dengan jelas dikatakan di pembukaan UUD 1945 tujuan Indonesia yakni "mencerdaskan kehidupan bangsa". Pendidikan yang tidak merata ini menyebabkan anak2 Indonesia sulit bersaing di dunia kerja. Pemerintah dan masyarakat harus segara bangkit dan bahu membahu meningkatkan pendidikan Indonesia. Mengingat AFTA 2015 semakin dekat. AFTA akan memperketat persaingan di dunia kerja, karena bukan hanya bersaing dengan mesin2 saja, kini anak indonesia harus bersaing dengan SDM dari ASEAN.
BalasHapussetuju, karena masih banyak aspek yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan di Indonesia, mulai dari sumber daya pengajar, sarana, hingga sistem dan kurikulum yang digunakan. saat ini sarana pendidikan belum sepenuhnya memadai, khususnya di wilayah yang sulit dijangkau. Akibatnya pelaksanaan pendidikan menjadi tidak merata. jumlah tenaga pengajar juga dirasa masih kurang, selain itu,sistem dan kurikulum yang berlaku saat ini juga turut mempengaruhi kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Sistem yang masih mendewakan nilai, dan berfokus pada output--tanpa mempertimbangkan proses pembelajaran--cenderung membuat individu kurang kreatif dalam mengembangkan potensi dan kemampuan diri. Untuk itulah masyarakat dan pemerintah harus bekerjasama dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia, agar tidak hanya ahli di bidang yang ditekuni, tapi juga mampu berkompetisi di era globalisasi.
BalasHapusTulisan yang menarik, namun terdapat gap antara apa yg dibahas di pendahuluan dan bahasan selanjutnya. Di pendahuluan terdapat bahasan berupa penggunaan robot untuk menggantikan tenaga kerja SDM dan kurangnya teknisi untuk dipekerjakan pada sektor maintenance dan operasional. Setelah itu dibahas mengenai status quo pendidikan di Indonesia yang menurut saya kurang berkoherensi dengan apa yg dibahas di awal. Mungkin dikarenakan tidak adanya benang merah yang seharusnya penulis sambungkan antar topik yg diambil.
BalasHapusPenulis dapat saja menyambungkan keadaan yg dibahas pada pendahuluan pada setiap poin tinjauan pustaka yang ada, bukan hanya memunculkan kembali pada kesimpulan.
Maaf jika kritik yang saya sampaikan merupakan kritik penulisan bukannya isi dari apa yg ditulis.
Sangat menarik tulisanya. Saya jg setuju pemerintah harus bertindak cepet dalam menyelesaikan masalah ini. Saya masi kurang jelas dengan perubahan orientasi pendidikan dan pelatihan. Perubahan yg seperti apa yg dimaksud? terimakasih.
BalasHapusTerimakasih atas tulisannya.
BalasHapusmasalah pendidikan dan pengangguran memang saling berkaitan.
untuk masalah pendidikan, dari pola pikir masyarakat yang seharusnya mulai sadar kalau pendidikan itu penting untuk masa depannya. Tidak jarang lulusan S1 jadi pengangguran, perlu peningkatan kualitas.
Untuk pemerataan pendidikan memang sudah seharusnya tugas pemerintah, tetapi sekarang sudah banyak relawan yang mengajar di daerah terpencil tinggal pemerintah mendukung kegitan tersebut.
menurut saya, tulisan yang menarik untuk dijadikan perbincangan. mengenai pendidikan di Indonesia yang memang pada kenyataannya belum adanya kemerataan tingkat pendidikan. masih banyak masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, padahal untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang memuaskan biasanya didapatkan apabila mempunyai jenjang pendidikan yang tinggi. sudah seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah Indonesia, agar pendidikan yang ada di negara Indonesia ini merata. tidak ada yang lebih tinggi ataupun yang rendah. hal ini harus terjadi, agar tidak adalagi masyarakat yang memiliki penghasilan kerja yang rendah sehingga sulit untuk menghidupi kebutuhan hidupnya, maupun masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan atau penganggguran. namun ini bukan hanya tugas dari pemerintah Indonesia, namun dari masyarakatnya sendiri harus ada kesadaran diri dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan mereka. tidak hanya penting untuk mencari pekerjaan, namun untuk kelangsungan hidupnya. saya rasa apa yang sudah dibahas cukup jelas.
BalasHapus