Sabtu, 24 Desember 2011

Tulisan IBD ke-3

 Kasus Penderitaan, Kekerasan serta Pembalasan


Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuk kekerasan yang terjadi di Bima, NTB. Seharusnya penegakkan hukum dilakukan dengan cara yang tidak melawan hukum. Korban anak pun bisa dicegah.

"Dalam insiden kekerasan tersebut, salah satu korban tewas adalah Saiful yang masih berusia 17 tahun. Seharusnya polisi hadir untuk menjaga ketertiban umum, memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan terhadap warga," terang Wakil Ketua KPAI Asrorun Niam Saleh dalam pernyataannya, Minggu (25/12/2011).

Pria yang akrab disebut Niam ini menjelaskan, dalam situasi konflik sekalipun, polisi harus tetap memberikan perlindungan pada anak-anak.

"KPAI juga menyesalkan pelibatan anak-anak dalam konflik tersebut," jelasnya.

Pelibatan anak-anak dalam unjuk rasa tidak dibenarkan. Namun bagaimanapun polisi tidak bisa sembarang melakukan tindakan atas dasar penegakkan hukum.

"Pelibatan anak dalam konflik melanggar UU dan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak," jelasnya.

2 Warga Bima, Syaiful dan Arif Rachman tewas ditembak petugas. Keduanya tergabung dalam kelompok masyarakat yang memblokade Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Warga menolak lokasi tambang emas di daerah mereka yang dinilai merusak sumber air.

Tugas IBD ke-3


Manusia dan Penderitaan
Makna penderitaan
Penderitaan, atau nyeri dalam arti luas, adalah dasar individu afektif pengalaman ketidaknyamanan dan keengganan terkait dengan bahaya atau ancaman bahaya. Suffering may be qualified as physical  or mental. It may come in all degrees of intensity, from mild to intolerable. Penderitaan mungkin memenuhi syarat sebagai fisik atau mental. Ini mungkin datang dalam semua derajat intensitas, dari ringan sampai tak tertahankan. Factors of duration and frequency of occurrence usually compound that of intensity. Faktor durasi dan frekuensi terjadinya senyawa yang biasanya intensitas. Attitudes toward suffering may vary widely, in the sufferer or other people, according to how much it is regarded as avoidable or unavoidable, useful or useless, deserved or undeserved. Sikap terhadap penderitaan dapat sangat bervariasi, dalam penderita atau orang lain, sesuai dengan berapa banyak itu dianggap sebagai dihindari atau tidak dapat dihindari, berguna atau tidak berguna, layak atau tidak layak.
Suffering occurs in the lives of sentient beings in numerous manners, and often dramatically. Penderitaan terjadi dalam kehidupan makhluk makhluk dengan cara yang banyak, dan sering dramatis. As a result, many fields of human activity are concerned, from their own points of view, with some aspects of suffering. Akibatnya, banyak bidang aktivitas manusia yang bersangkutan, dari sudut pandang mereka sendiri, dengan beberapa aspek penderitaan. These aspects may include the nature of suffering, its processes, its origin and causes, its meaning and significance, its related personal, social, and cultural behaviors, its remedies, management, and uses. Aspek-aspek mungkin termasuk sifat penderitaan, proses, asal-usul dan penyebab, arti dan makna, perilaku yang terkait pribadi, sosial, dan budaya, obat, manajemen, dan menggunakan.
Kata Penderitaan kadang-kadang digunakan dalam arti sempit sakit fisik , tetapi lebih sering mengacu pada sakit mental atau emosional , atau lebih sering belum nyeri dalam arti luas, yaitu untuk setiap emosi, perasaan atau sensasi tidak menyenangkan. The word pain usually refers to physical pain, but it is also a common synonym of suffering . Rasa sakit biasanya Kata mengacu pada rasa sakit fisik, tetapi juga sinonim umum penderitaan. The words pain and suffering are often used both together in different ways. Rasa sakit dan penderitaan kata-kata yang sering digunakan baik bersama-sama dalam cara yang berbeda. For instance, they may be used as interchangeable synonyms. Misalnya, mereka dapat digunakan sebagai sinonim dipertukarkan. Or they may be used in 'contradistinction' to one another, as in "pain is physical, suffering is mental", or "pain is inevitable, suffering is optional". Atau mereka dapat digunakan dalam 'bertentangan' satu sama lain, seperti dalam "rasa sakit adalah fisik, penderitaan mental", atau "sakit tidak bisa dihindari, penderitaan adalah sebuah pilihan". Or they may be used to define each other, as in "pain is physical suffering", or "suffering is severe physical or mental pain". Atau mereka dapat digunakan untuk mendefinisikan satu sama lain, seperti dalam "rasa sakit adalah penderitaan fisik", atau "penderitaan adalah rasa sakit fisik atau mental yang berat".
Qualifiers, such as mental , emotional , psychological , and spiritual , are often used for referring to certain types of pain or suffering. Kualifikasi, seperti mental, emosional, psikologis, dan spiritual, yang sering digunakan untuk merujuk ke beberapa jenis rasa sakit atau penderitaan. In particular, mental pain (or suffering) may be used in relationship with physical pain (or suffering) for distinguishing between two wide categories of pain or suffering. Secara khusus, sakit mental (atau penderitaan) dapat digunakan dalam hubungan dengan nyeri fisik (atau menderita) untuk membedakan antara dua kategori yang luas dari rasa sakit atau penderitaan. A first caveat concerning such a distinction is that it uses physical pain in a sense that normally includes not only the 'typical sensory experience of physical pain' but also other unpleasant bodily experiences such as itching or nausea. Peringatan pertama tentang seperti perbedaan adalah bahwa ia menggunakan sakit fisik dalam arti yang biasanya meliputi tidak hanya 'pengalaman indrawi khas sakit fisik, tetapi juga pengalaman lainnya yang tidak menyenangkan tubuh seperti gatal-gatal atau mual. A second caveat is that the terms physical or mental should not be taken too literally: physical pain or suffering, as a matter of fact, happens through conscious minds and involves emotional aspects, while mental pain or suffering happens through physical brains and, being an emotion, involves important physiological aspects. Sebuah peringatan kedua adalah bahwa istilah fisik atau mental tidak harus diambil terlalu harfiah: rasa sakit fisik atau penderitaan, sebagai Sebenarnya, yang terjadi melalui pikiran sadar dan melibatkan aspek emosional, sementara sakit mental atau penderitaan yang terjadi melalui otak fisik dan, menjadi seorang emosi, melibatkan aspek-aspek fisiologis penting.
Unpleasantness , another synonym of suffering or pain in the broad sense, is used in physical pain science to refer to the basic affective dimension of pain (its suffering aspect), usually in contrast with the sensory dimension, as for instance in this sentence from Professor Donald Price: “Pain-unpleasantness is often, though not always, closely linked to both the intensity and unique qualities of the painful sensation.” Words that are roughly synonymous with suffering , in addition to pain and unpleasantness , include distress, sorrow, unhappiness, misery, affliction, woe, ill, discomfort, displeasure, disagreeableness . Ketidaknyamanan, sinonim lain penderitaan atau rasa sakit dalam arti luas, digunakan dalam ilmu rasa sakit fisik untuk merujuk pada dimensi afektif dasar nyeri (aspek penderitaan nya), biasanya dalam kontras dengan dimensi sensorik, seperti misalnya dalam kalimat ini dari Profesor Donald Harga: "Rasa-ketidaknyamanan seringkali, meskipun tidak selalu, berhubungan erat dengan baik intensitas dan kualitas yang unik dari sensasi yang menyakitkan." Kata-kata yang kasar identik dengan penderitaan, di samping rasa sakit dan ketidaknyamanan, termasuk kesusahan, kesedihan, ketidakbahagiaan, kesengsaraan, penderitaan, duka, sakit, ketidaknyamanan, ketidaksenangan, disagreeableness.

Siksaan

Penyiksaan adalah tindakan menimbulkan rasa sakit yang parah (baik fisik atau psikologis ) sebagai sarana hukuman, dendam, informasi memaksa atau pengakuan, atau hanya sebagai tindakan kekejaman. Throughout history, torture has taken on a wide variety of forms, and has often been used as a method of political re-education , interrogation, punishment, and coercion. Sepanjang sejarah, penyiksaan telah diambil pada berbagai bentuk, dan telah sering digunakan sebagai metode politik pendidikan ulang , interogasi, hukuman paksaan, dan. In addition to state-sponsored torture, individuals or groups may be motivated to inflict torture on others for similar reasons to those of a state; however, the motive for torture can also be for the sadistic gratification of the torturer. Selain penyiksaan yang disponsori negara, individu atau kelompok dapat termotivasi untuk menimbulkan penyiksaan pada orang lain untuk alasan yang serupa dengan negara, namun motif untuk penyiksaan juga dapat untuk sadistis pemuasan penyiksa.
Torture is prohibited under international law and the domestic laws of most countries in the 21st century. Penyiksaan adalah dilarang di bawah hukum internasional dan hukum dalam negeri sebagian besar negara di abad ke-21. It is considered to be a violation of human rights , and is declared to be unacceptable by Article 5 of the UN Universal Declaration of Human Rights . Hal ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia , dan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Pasal 5 dari PBB Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia . Signatories of the Third Geneva Convention and Fourth Geneva Convention officially agree not to torture prisoners in armed conflicts. Penandatangan Konvensi Jenewa Ketiga dan Konvensi Jenewa Keempat resmi setuju untuk tidak menyiksa tahanan dalam konflik bersenjata. Torture is also prohibited by the United Nations Convention Against Torture , which has been ratified by 147 countries. Penyiksaan juga dilarang oleh Konvensi PBB Menentang Penyiksaan , yang telah diratifikasi oleh 147 negara.
National and international legal prohibitions on torture derive from a consensus that torture and similar ill-treatment are immoral, as well as impractical. Despite these international conventions, organizations that monitor abuses of human rights (eg Amnesty International , the International Rehabilitation Council for Torture Victims ) report widespread use condoned by states in many regions of the world. Amnesty International estimates that at least 81 world governments currently practice torture, some of them openly. Nasional dan larangan hukum internasional tentang penyiksaan berasal dari sebuah konsensus bahwa penyiksaan dan perlakuan buruk serupa tidak bermoral, serta tidak praktis. Meskipun, organisasi internasional konvensi yang memantau pelanggaran hak asasi manusia (misalnya Amnesti Internasional , para Dewan Rehabilitasi Internasional untuk Korban Penyiksaan ) melaporkan penggunaan luas dibiarkan oleh negara di banyak wilayah di dunia. Amnesty International memperkirakan bahwa setidaknya 81 pemerintah dunia saat ini praktik penyiksaan, beberapa dari mereka secara terbuka.

Penyiksaan, menurut Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (ukuran penasihat dari Majelis Umum PBB ) adalah:
...any act by which severe pain or suffering , whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him, or a third person, information or a confession , punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. ... Setiap tindakan oleh yang parah sakit atau penderitaan , apakah fisik atau mental, yang sengaja ditimpakan pada seseorang untuk tujuan seperti memperoleh darinya, atau orang informasi, ketiga atau pengakuan , menghukum dia karena tindakan dia atau sepertiga seseorang telah melakukan atau dicurigai telah melakukan, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau untuk setiap alasan yang berdasarkan diskriminasi jenis apapun, ketika rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau persetujuan dari seseorang resmi atau umum lainnya yang bertindak dalam kapasitas resmi. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in, or incidental to, lawful sanctions. Ini tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau terkait dengan, sanksi hukum. --UN Convention Against Torture  - Konvensi Anti Penyiksaan PBB
This definition was restricted to apply only to nations and to government-sponsored torture and clearly limits the torture to that perpetrated, directly or indirectly, by those acting in an official capacity. Definisi ini dibatasi hanya berlaku untuk negara dan pemerintah yang disponsori penyiksaan dan jelas batas penyiksaan itu dilakukan, secara langsung atau tidak langsung, oleh mereka yang bertindak dalam kapasitas resmi. It appears to exclude 1) torture perpetrated by gangs , hate groups , rebels or terrorists who ignore national or international mandates; 2) random violence during war; and 3) punishment allowed by national laws, even if the punishment uses techniques similar to those used by torturers such as mutilation or whipping when practiced as lawful punishment . Tampaknya untuk mengecualikan 1) penyiksaan yang dilakukan oleh geng-geng , kebencian kelompok , pemberontak atau teroris yang mengabaikan mandat nasional atau internasional; 2) kekerasan yang acak selama perang, dan 3) Hukuman yang diperbolehkan oleh hukum nasional, bahkan jika hukuman menggunakan teknik mirip dengan yang digunakan oleh penyiksa seperti mutilasi atau mencambuk saat dipraktekkan sebagai hukuman yang sah . Some professionals in the torture rehabilitation field believe that this definition is too restrictive and that the definition of politically motivated torture should be broadened to include all acts of organized violence. Beberapa profesional di bidang rehabilitasi penyiksaan percaya bahwa definisi ini terlalu ketat dan bahwa definisi penyiksaan bermotif politik harus diperluas untuk mencakup semua tindakan kekerasan terorganisir.
In 1986, the World Health Organization working group introduced the concept of organized violence , which was defined as: Pada tahun 1986, Organisasi Kesehatan Dunia kelompok kerja memperkenalkan konsep kekerasan terorganisir, yang didefinisikan sebagai:
"The inter-human infliction of significant, avoidable pain and suffering by an organized group according to a declared or implied strategy and/or system of ideas and attitudes. It comprises any violent action that is unacceptable by general human standards, and relates to the victims' feelings. Organized violence includes “torture, cruel inhuman or degrading treatment or punishment” as in Article 5 of the United Nations Universal Declaration of Human Rights (1984). Imprisonment without trial , mock executions , hostage -taking, or any other form of violent deprivation of liberty, also fall under the heading of organized violence." "Para penderitaan antar manusia yang signifikan, sakit dan penderitaan dihindari oleh kelompok terorganisir sesuai dengan strategi dinyatakan atau tersirat dan / atau sistem gagasan dan sikap. Ini terdiri dari tindakan kekerasan yang dapat diterima oleh standar manusia pada umumnya, dan berhubungan dengan perasaan korban "kekerasan terorganisir. termasuk" penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman "seperti dalam Pasal 5 PBB Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1984). Pemenjaraan tanpa pengadilan , eksekusi pura-pura , penyanderaan -mengambil, atau bentuk lain kekerasan perampasan kebebasan, juga jatuh di bawah judul kekerasan terorganisir ".
An even broader definition was used in the 1975 Declaration of Tokyo regarding the participation of medical professionals in acts of torture: Definisi yang lebih luas digunakan dalam 1975 Deklarasi Tokyo mengenai partisipasi dari para profesional medis dalam tindakan penyiksaan:
For the purpose of this Declaration, torture is defined as the deliberate, systematic or wanton infliction of physical or mental suffering by one or more persons acting alone or on the orders of any authority, to force another person to yield information, to make a confession, or for any other reason. Untuk tujuan Pernyataan ini, penyiksaan didefinisikan sebagai penderitaan yang disengaja, sistematis atau nakal penderitaan fisik atau mental oleh satu atau lebih orang yang bertindak sendiri atau atas perintah otoritas apapun, untuk memaksa orang lain untuk menghasilkan informasi, untuk membuat pengakuan , atau untuk alasan lain.
This definition includes torture as part of domestic violence or ritualistic abuse, as well as in criminal activities. Definisi ini mencakup penyiksaan sebagai bagian dari kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan ritual, serta dalam kegiatan kriminal. Since 1973 Amnesty International has adopted the simplest, broadest definition of torture: Sejak 1973 Amnesty International telah mengadopsi definisi sederhana, luas penyiksaan:
"Torture is the systematic and deliberate infliction of acute pain by one person on another, or on a third person, in order to accomplish the purpose of the former against the will of the latter." "Penyiksaan adalah penderitaan sistematis dan disengaja nyeri akut oleh satu orang yang lain, atau orang ketiga, dalam rangka untuk mencapai tujuan dari mantan melawan kehendak yang kedua."


Rasa Sakit
Rasa sakit merupakan suatu akibat baik yang terjadi secara psikologis maupun fisik. Sakit yang terjadi secara psikologis adalah sakit yang timbul jika seseorang merasakan perasaan yang buruk, akibat adanya dorongan dan penekanan terhadap daya pikir seseorang. Sedangkan sakit fisik merupakan sakit yang terjadi akibat seseorang mengalami sakit medis.
Sumber Penderitaan
penderitaan yang sering kita rasakan tidak datang begitu saja menghinggapi perasaan kita,tetapi dia memiliki sumbernya,sumber penderitaan itu bisa disebabkan oleh beberapa hal,sebagai contoh;kemiskinan di negeri ini,itu disebakan oleh banyakanya masyarakat miskin yang hidup di negeri ini karena taraf hidupnya masih tidak memenuhi standar sehingga banyak dari mereka yang masih menderita karena kemiskinan tersebut selain itu  juga bencana alam yang sering kita lihat disekitar kita itu merupakan salah satu penderitaan yang ada,bencana tersebut menyebabkan banyakanya rakyat di negeri ini yang kehilangan harta benda,sanak saudara dan sebagainya,sehinnga mereka semua merasakan penderitaan terkadang sumber penderitaan itu juga tidak hanya datang dari alamsaja tetapi bisa juga disebabkan oleh ulah manusia sebagai contoh kita ambil,penebangan hutan secara sembarangan ini dapat menjadi sumber penderitaan yang dialami oleh masyarakat disekitar hutan tersebut karena dapat menyebabkan banjir dan dapat menjadi masalah yang besar bagi masyarakat disekitar hutan tersebut sehinnga ini dapat dikatakan juga sumber penderitaan.dari yang telah kita jelaskan diatas itu merupakan sebagian faktor sumber penderitaan yang dapat tejadi dimasyarakat selain itu juga sumber penderitaan bisa juga datang dari diri sendiri misalnya jika kita tidak melakukan hal yang baik dalam hidup ini it juga bisa menyebakan sumber penderittan karena jika kita melakukan sesuatu yang tidak baik atau keluar dari aturan yang ada maka manusia akan mengalami penderitaan contohnya seseorang akan dikucilkan dari ligkungan sekitarnya apabila dia pernah melakukan hal yang salah seperti misalnya mencuri ,ini akan menjadikan si orang tersebut menjadi menyesal akan semua yang pernah dia lakukan sehingga orang tersebut akan menderita karena dia telah pernah melakukan hal tersebut,hal ini dapat menimbulkan depresi bahkan bisa menyebabkan seseorang jadi hilang kendali karena di bayang-bayangi oleh perbuatan yang pernah dia lakukan tersebut.
        banyak hal yang dapat menjadi sumber penderitaan yang kita rasakan tetapi semua itu bisa dihilangkan apabila dalam setiap masalah yang kita hadapi  kita selau berpikiran positif dan ernih dalam menghadapinya oleh karena itu semua sumber penderitaan tergantung dari bagaimana kita dapat menyikapinya dan percayalah dari semua penderitaan yang kita rasakan pasti memiliki hikmah yang kita dapat kita ambil karena dalam setiap penderitaan yang kita alami pasti ada jalan keluarnya,maka dari itu berpikirlah positif dalam mengahadapi sumber penderitaan yang kita alami dalam hidup ini jangan jadikan sumber penderitaan itu sebagai belenggu yang tidak dapat kita lepaskan.


Upaya Menghindarkan Penderitaan
Penderitaan jiwa, berat maupun ringan, sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di zaman modern ini. Sadar atau tak sadar, banyak orang merasakan penderitaan dan rintihan dalam batinnya. Terhibur dalam keramaian tapi gelisah dalam kesendirian, menjerit dalam kesunyian, menemukan orang yang tepat untuk curhat sulit, orang tua tidak mengerti. Problem ini dirasakan termasuk oleh orang-orang yang taat menjalankan kehidupan ritual agamanya sehari-hari. Dalam keramaian seperti tak ada masalah, ceria, riang dan gembira, tapi dalam kesendirian dan kesunyian, batinnya menjerit karena masalah tak hilang-hilang, beban perasaan terasa berat, stres oleh pekerjaan yang menumpuk, jodoh tak kunjung datang, uang dan materi berlimpah tapi tak ada ketenangan hidup, makanan banyak tapi tak ada kenikmatan dst. Akhirnya, tak betah di rumah, asing dengan diri sendiri, hidup merasa tak bermakna. Kebahagiaan tidak tahu entah ada dimana.

Apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini? Umumnya kita melakukan tiga berikut ini: Pertama, refresing dalam berbagai bentuknya seperti rekreasi, hiburan, nonton, olah raga, jalan-jalan, kumpul-kumpul, nongkrong di café, belanja menghabiskan waktu dan uang. Kedua, menyibukkan diri dalam berbagai aktifitas yang diharapkannya bisa melupakan problem-problem hidupnya untuk sementara. Ketiga, menghukum dirinya dengan duduk berjam-jam depan komputer menghabiskan waktu dengan main game, chatting atau yang paling populer sekarang, fesbukan. Ditulislah status-status yang berisi kalimat-kalimat indah, puisi atau curhat yang mengkespresikan penderitaan jiwa yang sedang dialaminya: tentang kehampaan hidup, ketiadaan cinta, kesendirian, kekecewaan dan lain-lain. Dengan cara-cara itu ia berharap penderitaannya akan berkurang atau hilang. Tapi kenyataan tidak, masalah tetap saja muncul dan muncul lagi. Mengatasi penderitaan jiwa kepada aktivitas-aktivitas hiburan seperti itu karena kebingungannya harus bagaimana dan melakukan apa. Masalah tetap saja lestari. Akhirnya, tindakan menjadi salah kaprah. Yang menderita jiwa, yang diobatinya fisik. Sumber masalahnya dalam batin, tapi yang kita lakukan tindakan-tindakan lahir. Yang merasakannya hati tapi jawabannya adalah fikiran atau tindakan-tindakan rasional. Ibaratnya, motor rusak dibawa ke puskesmas, sakit gigi datang ke bengkel, demam pergi ke tukang jahit. Akhirnya, masalah tidak hilang-hilang!
Mengatasi penderitaan jiwa dengan bentuk-bentuk hiburan tidak akan menyelesaikan apa yang sedang kita rasakan. Yang kita dapatkan dari hiburan hanyalah kegembiraan atau kesenangan sesaat yang ketika pulang ke rumah atau kembali pada kesendirian, derita-derita itu datang lagi. Begitulah seterusnya. Karena sudah menjadi sistem kesadaran yang berlangsung lama, akhirnya penderitaan muncul terus-menerus. Di hadapan orang, mungkin penderitaan itu bisa kita sembunyikan, kita seolah biasa-biasa saja, tapi hati tidak bisa dipungkiri apalagi saat-saat menyendiri. Derita-derita itu sungguh sangat menyiksa.
Tidak Tepat Terapi
Salah terapi membuat masalah tidak sembuh-sembuh sehingga penderitaan datang terus-menerus. Setiap masalah yang dialami manusia ada sebab dan akar-akarnya sendiri. Karena itu, proses penyembuhannya pun berbeda satu sama lain. Penyembuhan dengan pendekatan agama secara umum, misalnya dengan memperbanyak dzikir, shalat sunat atau sabar dan tawakkal tidak akan menyelesaikan masalah karena itu semua tidak mengungkap akar-akar masalahya. Ibaratnya, harusnya datang ke dokter spesialis tapi kita datang ke dokter umum.
Mengatasi kesulitan hidup yang memproduksi keluhan-keluhan jiwa bukan dengan sabar dan tawakal yang sering diartikan menerima dengan pasif atau dengan wirid/dzikir sekian ribu kali, istikharah, puasa senin-kamis, tahajjud atau baca asma ul-husna dengan bilangan tertentu. Semua praktek itu untuk menenangkan jiwa bukan untuk menyelesaikan masalah. Banyak mengingat Allah dengan berdzikir itu untuk menenangkan hati: “Ala bidzikrillahi tathma’innul qulub” (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang), bukan untuk membereskan masalah hingga selesai dan tidak muncul lagi. Buktinya, banyak orang rajin berdzikir tapi mental buruknya tetap saja tidak hilang, banyak orang shalatnya rajin tapi ketika mengejar keinginan tetap saja menghalalkan segala cara, banyak orang sabar dan tawakkal tetap saja jodohnya tidak datang, orang rajin puasa sunat tapi tetap saja kesadaran hidupnya rendah. Bukan ritual agamanya yang salah, tapi antara masalah dengan penyelesaian tidak nyambung, bukan ibadah yang salah, tapi pengobatan tidak tepat.
Shalat sunat, puasa sunat atau dzikir adalah ibadah tambahan untuk melengkapi atau menyempurnakan ibadah-ibadah wajib yang banyak kekurangannya atau yang kita kerjakan tidak maksimal. Ibadah-ibadah sunah itu kita laksanakan sebagai ketaatan pada nabi untuk mencontoh perilaku dan kebiasaan beliau sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah). Kalau pun berdampak pada berkurangnya beban masalah atau kesembuhan penyakit, itu karena kasih sayang Allah saja, bukan oleh ibadah-ibadah itu, dan bukan  untuk tujuan menyelesaikan masalah kita beridabah kepada Tuhan.

Bagaimana Mengatasi Masalah yang Tepat?
Ketika penderitaan-penderitaan jiwa menghimpit seseorang pengobatannya bukan dengan memperbanyak dzikir, wirid atau membaca asma ul-husna, apalagi refreshing ke tempat-tempat hiburan. Yang seharusnya dilakukan adalah merenung dan merenung, menghisab diri (introspeksi) atas semua kesalahan, dosa, pembangkangan dan pelanggaran-pelanggaran agama yang pernah dilakukan. Tapi, ini agak sulit. Tidak mudah orang menemukan dan menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri. Maka, cara yang benar adalah carilah orang yang bisa memberikan nasehat!! Tanyakanlah mengapa masalah demi masalah datang tak habis-habisnya, kemudian duduk, diam dan dengarkan orang yang menasehati kita.
Orang yang diminta nasehat harus orang yang tepat: yang bersih hatinya, lurus hidupnya, jernih pandangannya, taat agamanya, satu kata antara hati dan perbuatannya, bisa menguasai hawa nafsunya dan tidak mencintai dunia. Dan yang penting dicatat, bukan orang (termasuk kiayi atau ahli hikmah) yang memberikan resep-resep instan agar masalah cepat selsesai, tapi yang bisa menguraikan kesalahan-kesalahan kita, membeberkan kelemahan dan kekurangan kita, yang menunjukkan keburukan-keburukan kita, yang semua menjadi penyebab yang tidak disadari (hijab ruhani) munculnya penyakit-penyakit dalam diri kita, lahir maupun batin.
Mencari orang seperti itu tidak susah bila ada kemauan. Malas atau membayangkan sulit mencarinya adalah penghalang pertama dari kesembuhan. Cara untuk menemukan orang seperti itu adalah dengan menghidupkan kepekaan hati atau qalbu kita: siapakah dalam lingkungan pergaulan kita, atau yang pernah kita kenal atau kita dengar memiliki atau paling dekat dengan sifat-sifat yang disebutkan di atas. Kuburkanlah status sosial kita saat mencari orang seperti itu, jauhkanlah kesombongan karena kebenaran tak ditemukan melalui gengsi dan keangkuhan. Semakin mampu kita menguburkan egosime dan kesombongan, semakin rendah memandang diri sendiri, semakin merasa diri penuh dengan kelemahan dan kekurangan bahkan kehinaan, Insya Allah, “antena” kita makin kuat untuk menangkap sinyal dimana orang yang layak memberikan nasehat itu berada. Dan itu tak selalu berhubungan dengan ketenaran, usia, sebutan kiayi, ustadz dan sebagainya.

Bila sudah menemukannya, datangi lalu pintalah nasehatnya. Tanyakanlah mengapa kita selalu banyak masalah. Tanyakanlah mengapa kita terpuruk, mengapa kita jatuh, mengapa kita stres, mengapa kita tidak dihormati orang, mengapa sulit mencari jodoh, mengapa anak-anak di rumah tidak hormat dan sulit diatur dst. Tanyakanlah kesalahan dan keburukan apa yang kita lakukan. Ketika nasehat diberikan, praktekkanlah rumus 3D: duduk, diam, dengarkan! Hanya itu yang patut kita lakukan saat mendengarkan nasehat. Janganlah pernah membantah nasehat dengan penjelasan dan kata-kata, dengan pikiran, dengan argumen, bela diri dan apologi. Bila itu ditunjukkan, itulah penghalang kedua dari kesembuhan.

Penyakit umum kita adalah membantah nasehat dan banyak menjelaskan. Buanglah jauh-jauh kedua sifat itu. Argumen dan penjelasan diperlukan dalam kegiatan diskusi bukan saat menerima nasehat. Salah satu problem akut manusia modern adalah sulitnya menundukkan hati untuk mendengarkan nasehat dengan rendah hati, tawadhu dan pengakuan kesalahan. Bila rumus 3D itu dijalankan, Insya Allah, jawaban dari persoalan-persoalan hidup yang kita rasakan akan berkurang kemudian hilang. Mengapa? Karena kita melakukan secara tepat tiga hal: benar memahami masalah diri, benar kemana kita harus datang, dan benar apa yang harus kita lakukan. Tepat identifikasi masalah, tepat cara/metoda dan tepat langkah, pasti akan mendatangkan tepat hasil.[] Wallahu’alam!
Manusia dan Keadilan
Pengertian Keadilan

Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil.
Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Socrates memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan akan tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan kepada pemerintah ? sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat. Kong Hu Cu berpendapat bahwa keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
MACAM-MACAM KEADILAN
a.    KEADILAN LEGAL ATAU KEADILAN MORAL
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan oleh yang lainnya disebut keadilan legal.
Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk member tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik.
Ketidakadilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidak keserasian.

b. KEADILAN DISTRIBUTIF
Aristotele berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama (justice is done when equels are treated equally).
c.    KEADILAN KOMUTATIF
Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.

KEJUJURAN
Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Sikap jujur itu perlu di pelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta menyucikan lagi pula membuat luhurnya budi pekerti.
Pada hakekatnya jujur atau kejujuran di landasi oleh kesadaran moral yang tinggi kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.
Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal yang baik dan buruk.
Kejujuran besangkut erat dengan masalah hati nurani. Menurut M.Alamsyah dalam bukunya budi nurani dan filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam meneropong kebenaran local maupan kebenaran illahi (M.Alamsyah,1986 :83). Nurani yang di perkembangkan dapat jadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Kejujuran ataupun ketulusan dapat di tingkatkan menjadi sebuah keyakinan atas diri keyakinannya maka seseorang di ketahui kepribadianya.
Dan hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus-menerus berfikir atau bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konfik batin, ia akan selalu mengalami ketegangan, dan sifatnya kepribadiannya yang semestinya tunggal menjadi pecah.
Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap yang perlu di pupuk. Namun demi sopan santun dan pendidikan, orang di perbolehkan berkata tidak jujur apabila sampai bata-batas yang di tentukan.
Kebenaran
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek
Kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang merupakan obyek dan pengetahuan tidak sesuai.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyek, yakni pengetahuan yang obyektif. Karena suatu obyek memiliki banyak aspek, maka sulit untuk mencakup keseluruhan aspek (mencoba meliputi seluruh kebenaran dari obyek tersebut)
Pertanyaan tentang kebenaran, banyak diperdebatkan oleh teologiwan, filsuf, dan ahli logika.
Salah satu cara sederhana untuk mempelajari suatu subjek adalah menentukan segala sesuatu yang bisa benar atau salah, termasuk pernyataan, proposisi, kepercayaan, kalimat, dan pemikiran.

Study kasus
Nenek Nenek Pencuri Kakao vs Koruptor
Sepertinya kasus kasus yang beterbangan di negara ini benar-benar beraneka ragam dengan keanehannya masing-masing. Seperti contohnya kasus yang baru saja terjadi di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Nasib sial menimpa seorang nenek nenek yang ketahuan mencuri 3 biji kakao di daerah perkebunan yang akan dijadikan bibit dan sekarang nasibnya terancam hukuman percobaan 1 bulan 15 hari.
Miris juga ya peradaban hukum di negara ini. Memang yang namanya pencurian tetap suatu kesalahan seberapapun besar kecilnya bila dipandang perlu ditindak lanjuti silahkan saja. Hanya saja yang jadi tak berimbang di sini adalah, seorang nenek nenek yang hanya mencuri 3 biji kakao harus berhadapan dengan meja hijau tanpa di dampingi pengacara karena tidak adanya kemampuan finansial untuk membayar jasa pengacara. Sementara koruptor a.k.a maling uang rakyat yang bermilyar milyar bahkan trilyunan bebas berkeliaran tanpa penyelesaian yang jelas.
Mafia mafia peradilan, makelar makelar kasus bisa bebas berkeliaran dan hidup bermewah mewah. Memang benar bahwa semua itu sebagai proses peringatan supaya tidaklah menjadi contoh bagi yang lain dalam tindak pencurian. Tapi, apakah proses peradilan yang seadil-adilnya bagi koruptor dan para mafia peradilan tidak bisa ditegakkan seperti petugas hukum menindak tegas maling-maling ayam dan maling-maling seperti Ibu Minah?
Masyarakat sangatlah bisa menilai sendiri seperti apa wajah hukum di negara kita ini. Ketimpangan yang terjadi di dunia hukum saat ini, seperti bergulirnya kasus Bibit – Chandra yang terus berjalan dan belum menemukan titik temu yang jelas, ditambah lagi saat ini sedang bergulir kasus Polisi vs Jurnalisme. Fiuh…kapan ya peradilan di negara ini bisa berlaku adil tanpa mencari kambing hitam?
Opini
Memang terkadang manusia lupa akan tugasnya agar berlaku adil terhadap siapapun, padahal di dunia ini harus serba seimbang, adil tanpa membedakan yg satu dengan yang lain. Hak dan kewajiban yang di terima setiap manusia pun juga harus adil, jangan hanya karena memiliki kekuasaan jadi berlaku tidak adil. Di negara Indonesia ini masih banyak yang belum bisa berlaku adil, masih banyak yang terpengaruh oleh kekuasaan, kenikmatan dan sebagainya sehingga melupakan mana yang benar dan mana yang patut di salahkan.
Cara untuk bersikap adil menurut saya harus di mulai dari diri sendiri dulu bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, kemudian jika ada sebuah masalah maka sebaiknya di lihat secara obyektif jangan subyektif.
KECURANGAN
Tujuan utama management audit adalah untuk menilai performance manajemen dan fungsi-fungsi dalam perusahaan, terutama efektifitas, efisiensi dan kehematan (ekonomisasi). Fraud atau kecurangan merupakan hambatan untuk penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif dan ekonomis, sehingga harus selalu menjadi perhatian penting manajemen dan dewan direktur organisasi.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan WJS Purwadarminta, kecurangan berarti tidak jujur, tidak lurus hati, tidak adil dan keculasan (Karni, 2000:49). Didalam buku Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Tunggal (2001:2) dijelaskan satu definisi hukum dari kecurangan, yaitu berbagai macam alat yang dengan lihai dipakai dan dipergunakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan terhadap orang lain, dengan cara bujukan palsu atau dengan menutupi kebenaran, dan meliputi semua cara-cara mendadak, tipu daya (trick), kelicikan (cunning), mengelabui (dissembling), dan setiap cara tidak jujur, sehingga pihak orang lain bisa ditipu, dicurangi atau ditipu (cheated).
The Institute of Internal Auditor di Amerika mendefinisikan kecurangan mencakup suatu ketidakberesan dan tindakan ilegal yang bercirikan penipuan yang disengaja. Ia dapat dilakukan untuk manfaat dan atau kerugian organisasi oleh orang di luar atau dalam organisasi ( Karni, 2000:34).
Tunggal (2001:1) mengutip definisi fraud menurut Michael J.Cormer sebagai berikut:
Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over another. A crime is an intentional act that violates the criminal law under which no legal excuse applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in response to their breach. The distinction is important. Not all frauds are crims and the majority of crimes are not frauds. Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only against crimes.
Pendapat Cormer tersebut kurang lebih mempunyai arti : bahwa kecurangan merupakan suatu perilaku dimana seseorang mengambil atau secara sengaja mengambil manfaat secara tidak jujur atas orang lain. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang melanggar undang-undang kriminal yang secara hukum tidak boleh dilakukan dimana sebuah negara mengikuti hukum tersebut dan memberikan hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Perbedaan ini penting, karena tidak semua kecurangan adalah kejahatan dan sebagian besar kejahatan bukan kecurangan. Perusahaan menderita kerugian akibat kecurangan, tetapi polisi dan badan penegak hukum lainnya bisa mengambil tindakan hanya terhadap kejahatan.
Fraud atau kecurangan ini juga perlu dibedakan dengan errors atau kesalahan. Errors dapat dideskripsikan sebagai unintentional mistakes. Kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap dalam pengelolaan transaksi, yaitu terjadinya transaksi, dokumentasi, pencatatan dari ayat-ayat jurnal, pencatatan debet kredit, pengikhtisaran proses dan hasil laporan keuangan. Kesalahan dapat dalam banyak bentuk, yaitu matematis, kritikal, atau dalam aplikasi prinsip-prinsip akuntansi. Apabila kesalahan dilakukan dengan sengaja (intentional), maka kesalahan tersebut merupakan kecurangan atau fraudulent (Tunggal, 2003:301).
Faktor yang membedakan antara kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang disengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001:316.2).
Kecurangan yang terjadi di setiap negara mempunyai jenis yang berbeda-beda karena praktik kecurangan antara lain sangat dipengaruhi oleh kondisi hukum di negara yang bersangkutan. Negara dengan penegakan hukum yang sudah berjalan baik dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum cukup atau lebih dari cukup, memiliki lebih sedikit modus operandi praktik kecurangan (Karni, 2000:33).
Berikut adalah berbagai perspektif kecurangan menurut Bologna yang dikutip oleh tunggal (2001:7), yaitu:
1.    Kecurangan: perspektif manusia

Kecurangan bagi orang awam, adalah kecurangan yang direncanakan yang dilakukan pada orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi pribadi, sosial atau politik. Kecurangan adalah penyimpangan persepsi moral yang kita sebut kebenaran, keadilan hukum, keadilan dan kesamaan.

2. Kecurangan: perspektif sosial dan ekonomi

Kecurangan dianggap perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial karena kecurangan dapat menghancurkan hubungan dan kepercayaan antar manusia. Tanpa kepercayaan, interaksi manusia tersendat dan hubungan antar manusia tidak berkembang. Perdagangan antar manusia tidak dapat berkembang jika tidak ada kepercayaan.

3. Kecurangan: perspektif hokum

Kecurangan dalam arti hukum adalah penggambaran kenyataan materi yang salah yang disengaja dengan tujuan membohongi orang lain sehingga orang tersebut mengalami kerugian ekonomi. Hukum dapat memberikan sanksi sipil dan kriminal untuk perilaku itu. Dengan demikian, kecurangan adalah bentuk apapun dari kelicikan, penemuan, kebohongan, pengkhianatan, penutupan atau samaran yang dimaksudkan untuk menyebabkan orang lain terpisah dengan uang, properti atau hak hukum lainnya dengan tidak adil.

4. Kecurangan: perspektif akuntansi dan audit

Dari sudut pandang akuntansi dan audit, kecurangan adalah penggambaran yang salah dari fakta material dalam buku besar atau laporan keuangan. Pernyataan yang salah dapat ditujukan pada pihak luar organisasi seperti pemegang saham atau kreditor, atau pada organisasi itu sendiri dengan cara menutupi atau menyamarkan penggelapan uang, ketidakcakapan, penerapan dana yang salah atau pencurian atau penggunaan aktiva organisasi yang tidak tepat oleh petugas, pegawai dan agen. Kecurangan dapat juga ditujukan pada organisasi oleh pihak luar, misalnya, penjual, pemasok, kontraktor, konsultan dan pelanggan, dengan cara penagihan yang berlebihan, dua kali penagihan, substitusi material yang lebih rendah mutunya, pernyataan yang salah mengenai mutu dan nilai barang yang dibeli,atau besarnya kredit pelanggan.

Klasifikasi kecurangan

Kecurangan usaha atau internal dapat digolongkan berdasarkan cara kecurangan disembunyikan. Terdapat dua metode penyembunyian menurut Tunggal (2001:6), yaitu:

1. On-book frauds (kecurangan dalam buku)

Pada dasarnya metode penyembunyian kecurangan dalam buku terjadi dalam usaha. Pembayaran atau aktivitas gelap/haram dicatat, biasanya dengan keadaan yang mengaburkan/tidak kentara, dalam buku dan catatan regular perusahaan.

2. Off-book frauds (kecurangan di luar buku)

Kecurangan di luar buku terjadi di luar aliran utama akuntansi. Biasanya, apabila kecurangan di luar buku terjadi, perusahaan umumnya mempunyai rabat pemasok yang tidak tercatat atau penjualan kas yang signifikan.

Karni (2000:35) mengklasifikasikan kecurangan menjadi tiga macam sebagai berikut:

1. Management Fraud

Kecurangan ini dilakukan oleh orang dari kelas ekonomi yang lebih atas dan terhormat yang biasa disebut white collar crime, karena orang yang melakukan kecurangan biasanya memakai kemeja berwarna putih dengan kerah putih. Penyebutan istilah white collar crime sendiri diangkat oleh Edwin H. Sutherland yang memberikan batasan tentang white collar crime sebagai : a violation of criminal law by the person of the upper socio economic class in the course of his occupational activities (Pranasari dan Meliala, 1991:107).

2. Non Management (Employee) Fraud

Kecurangan karyawan biasanya melibatkan karyawan bawahan. Kecurangan ini kadang-kadang merupakan pencurian atau manipulasi. Kesempatan meleakukan kecurangan pada karyawan tingkat bawah relatif lebih kecil dibandingkan kecurangan pada manajemen. Hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai wewenang, sebab pada umumnya semakin tinggi wewenang semakin besar kesempatan untuk melakukan kecurangan.

3. Computer Fraud

Kejahatan komputer dapat berupa pemanfaatan berbagai sumber daya komputer di luar peruntukan yang sah dan perusakan atau pencurian fisik atas sumber daya komputer itu sendiri. Termasuk juga defalcation atau embezzlement yang dilakukan dengan memanipulasi program komputer, file data, proses operasi, peralatan atau media lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan/organisasi yang mempergunakan sistem komputer tersebut.

Ikatan Akuntansi Indonesia (2001:316.2) menyatakan bahwa ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, yaitu salah saji yang timbul sebagai akibat dari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva, berikut penjelasannya :

1. Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan seperti yang disajikan berikut ini:

a. Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.

b. Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi atau informasi yang signifikan.

c. Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.

2. Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan atau pihak ketiga.




Penyebab kecurangan

Gandhi mengatakan bahwa berbagai kelemahan dalam prosedur dan tata kerja, salah satunya adalah kelemahan petugas serta pengawasan, yang kerap dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan ekonomi (Pranasari dan Meliala, 1991:3). Sistem pengendalian intern yang lemah memang memudahkan terjadinya kecurangan, akan tetapi sistem pengendalian yang kuat juga tidak menjamin bahwa kecurangan tidak terjadi. Sistem pengendalian intern tidak dimaksudkan untuk meniadakan semua kemungkinan terjadinya kesalahan atau penyelewengan, akan tetapi sistem pengendalian intern yang baik akan dapat menekan terjadinya kesalahan dan penyelewengan dalam batas-batas biaya yang layak dan kalaupun kesalahan dan penyelewengan terjadi hal ini dapat diketahui dan diatasi dengan cepat.

Penyebab-penyebab terjadinya kecurangan menurut Tunggal (2003:304) mengutip dari Venables dan Impey digolongkan menjadi penyebab utama dan penyebab sekunder, sebagai berikut :

1. Penyebab utama

a. Penyembunyian (concealment)

Kesempatan tidak terdeteksi. Pelaku perlu menilai kemungkinan dari deteksi dan hukuman sebagai akibatnya.

b. Kesempatan/Peluang (opportunity)

Pelaku perlu berada pada tempat yang tepat, waktu yang tepat agar dapat mendapatkan keuntungan atas kelemahan khusus dalam sistem dan juga menghindari deteksi.

c. Motivasi (motivation)

Pelaku membutuhkan motivasi untuk melakukan aktivitas demikian, suatu kebutuhan pribadi seperti ketamakan/kelobaan/kerakusan dan motivator yang lain.


d. Daya tarik (attraction)

Sasaran dari kecurangan perlu menarik bagi pelaku.

e. Keberhasilan (success)

Pelaku perlu menilai peluang berhasil, yang dapat diukur dengan baik untuk menghindari penuntutan atau deteksi.

2. Penyebab sekunder

a. “A Perk”

Akibat kurangnya pengendalian, mengambil keuntungan aktiva organisasi dipertimbangan sebagai suatu tunjangan karyawan.

b. Hubungan antar pemberi kerja/pekerja yang jelek

Rasa saling percaya dan menghargai antar pemberi kerja dan pekerja telah gagal.

c. Pembalasan dendam (revenge)

Ketidaksukaan terhadap organisasi mengakibatkan pelaku berusaha merugikan organisasi tersebut.

d. Tantangan (challenge)

Karyawan yang bosan dengan lingkungan kerjanya berusaha mencari stimulus dengan ‘memukul sistem’, yang dirasakan sebagai suatu pencapaian atau pembebasan dari rasa frustasi.


Sidharta mengungkapkan bahwa salah satu hal yang menyuburkan praktek kecurangan adalah ketergila-gilaan manusia terhadap uang. Uang mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak ada seorangpun yang tidak butuh uang. Seyogianya oranglah yang menguasai uang, akan tetapi pada suatu saat dan tingkat tertentu orang dapat diperbudak oleh uang, sehingga uang beralih menguasai manusia. Dalam keadaan seperti itu, uang dapat mempengaruhi etika dan moral (Pranasari dan Meliala, 1991:109).

Menurut Tunggal (2001:10) kecurangan paling sering terjadi apabila didukung oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :

1.   Pengendalian intern tidak ada, lemah atau dilakukan dengan longgar.
2.   Pegawai diperkerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
3.   Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan keuangan.
4.   Model manajemen sendiri korupsi, tidak efisien atau tidak cakap.
5.   Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan.
6.   Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi korupsi.
7.   Perusahaan mengalami masa yang buruk.

Ramos (2003) menyampaikan kondisi yang mendukung terjadinya kecurangan yang diadaptasinya dari Fraud Detection in a GAAS Audit-SAS No.99 Implementation Guide, sebagai berikut :

Three conditions are present when fraud occurs, are:

1. Incentive/Pressure. Management or other employees may have an incentive or be under pressure, which provides a motivation to commit fraud.

2. Opportunity. Circumstances exist-for example, the absence of controls, ineffective controls, or the ability of management to override controls-that provide an opportunity for fraud to be perpetrated.

3. Rationalization/Attitude. Those involved in a fraud are able to rationalize a fraudulent act as being consistent with their personal code of ethics. Some individual possess an attitude, character or set of ethical values that allows them to knowingly and intentionally commit a dishonest act.


Isi dari Implementation Guide tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa:

1. Manajemen atau karyawan mungkin didorong atau berada dibawah tekanan yang memotivasi mereka untuk melakukan kecurangan.

2. Kondisi lingkungan, seperti tidak adanya pengawasan, pengawasan yang tidak efektif, manajemen yang mengesampingkan pengawasan, merupakan kesempatan untuk melakukan kecurangan.

3. Mereka yang terlibat dalam kecurangan mungkin menganggap kecurangan sesuai dengan kode etik mereka. Beberapa orang mungkin memiliki sikap, karakter, atau nilai-nilai yang memperbolehkan mereka untuk melakukan perbuatan tidak jujur dengan sengaja.

Pembalasan
Pembalasan merupakan suatu perbuatan yang mengandung hak masing-masing pada seseorang yang berkaitan dengan suatu permasalahan, untuk melakukan timbal balik perbuatan buruk. Pembalasan biasa terjadi berawal dari sifat dendam, yaitu sifat terpendam untuk membalas kekesalan akibat kesalahan orang lain. Hal ini biasa dilakukan seseorang untuk melampiaskan emosi yang terpendam.